Home » Posts filed under Humor Sufi
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Setelah tahu bahwa tidak ada orang di dalam Masjid, Mulla melepas sepatu barunya dan membungkusnya dengan selembar kertas. Lalu dia melangkah masuk untuk shalat. Seseorang melihat bungkusan di bawah ketiak Mulla dan bertanya: "Apa yang kamu bawa itu Mulla?"
"Buku," sahut Mulla.
"Buku apa?" tanya orang itu.
"Filsafat hidup sehari-hari." jawab mulla
"Tentu ditulis oleh seorang filosof terkemuka." tanya orang itu.
"Oleh seorang pembuat sepatu." sahut Mulla
"Buku," sahut Mulla.
"Buku apa?" tanya orang itu.
"Filsafat hidup sehari-hari." jawab mulla
"Tentu ditulis oleh seorang filosof terkemuka." tanya orang itu.
"Oleh seorang pembuat sepatu." sahut Mulla
Seorang syaikh berjalan bersama teman-temannya yang membantunya membawa sebuah penggilingan batu yang besar. Tiba-tiba penggilingan batu tersebut jatuh dan hancur. Tetapi syaikh malah tertawa sembari bertepuk tangan.
"Apa yang membuatmu tertawa?" tanya kawan-kawannya. "Kita sudah susah-susah membawa penggilingan ini. Tetapi ternyata usaha kita sia-sia."
"Tanyakan saja pada penggilingan batu ini," kata syaikh sembari terus tertawa. "Inilah terakhir ia berputar dan menggiling. Ia kini bebas karena sudah pecah."
"Apa yang membuatmu tertawa?" tanya kawan-kawannya. "Kita sudah susah-susah membawa penggilingan ini. Tetapi ternyata usaha kita sia-sia."
"Tanyakan saja pada penggilingan batu ini," kata syaikh sembari terus tertawa. "Inilah terakhir ia berputar dan menggiling. Ia kini bebas karena sudah pecah."
Di sebuah kota, Mulla Nashruddin berkunjung ke rumah seorang kawan, untuk bertamu selama beberapa minggu. Setelah dua hari, tuan rumahnya mulai mencari akal bagaimana cara untuk mengusirnya. Si tuan rumah berkata kepada istrinya:
"Mari kita berkelahi. Bila Mulla melerai, maka akan aku katakan sedemikian rupa sehingga dia akan tahu bahwa sudah saatnya dia pergi."
Mereka melakukan rencana itu, lalu si suami berkata kepada Mulla:
"Dengan nama Allah yang akan melindungi kamu dalam perjalanan besok, katakan kepada kami, wahai orang arif, mana diantara kami yang benar?"
"Aku bersumpah kepada nama Allah yang akan menjadi pelindungku di rumah ini selama minggu-minggu mendatang ini, aku tidak tahu." jawab Mulla.
"Mari kita berkelahi. Bila Mulla melerai, maka akan aku katakan sedemikian rupa sehingga dia akan tahu bahwa sudah saatnya dia pergi."
Mereka melakukan rencana itu, lalu si suami berkata kepada Mulla:
"Dengan nama Allah yang akan melindungi kamu dalam perjalanan besok, katakan kepada kami, wahai orang arif, mana diantara kami yang benar?"
"Aku bersumpah kepada nama Allah yang akan menjadi pelindungku di rumah ini selama minggu-minggu mendatang ini, aku tidak tahu." jawab Mulla.
Dua orang mengumpulkan uang untuk membeli seekor unta. Yang satu hanya dapat menyumbangkan sepertiga dari harga unta; yang kedua dua pertiganya.
Suatu hari, tatkala sedang melintasi sungai, untanya tenggelam. Lelaki yang menyumbangkan dua pertiga harga unta itu bersikeras agar kawannya yang miskin itu membayarnya sejumlah uang untuk mengganti untanya yang hilang.
Perselisihan itu dibawa ke hadapan Mulla.
"Kalau ada yang harus membayar," jawab Mulla kepada yang kaya itu, "kamulah yang harus membayar, sebab kamu yang memiliki dua pertiga unta itu. Unta itu tenggelam karena terlalu berat."
Suatu hari, tatkala sedang melintasi sungai, untanya tenggelam. Lelaki yang menyumbangkan dua pertiga harga unta itu bersikeras agar kawannya yang miskin itu membayarnya sejumlah uang untuk mengganti untanya yang hilang.
Perselisihan itu dibawa ke hadapan Mulla.
"Kalau ada yang harus membayar," jawab Mulla kepada yang kaya itu, "kamulah yang harus membayar, sebab kamu yang memiliki dua pertiga unta itu. Unta itu tenggelam karena terlalu berat."
Suatu hari Raja Harun sedang makan malam. Bahlul, yang juga datang diundang ke resepsi itu, secara kebetulan menumpahkan sedikit kuah daging ke pakaian Raja. Raja, dengan wajah murka berpaling ke arah pembantu-pembantunya dan ketika itulah Bahlul menumpahkan semua kuah yang ada di mangkok ke pakaian Raja.
"Wahai Raja," dia mulai menjelaskan, "dari sorot matamu aku dapat melihat Tuan akan menghukum mati aku. Aku khawatir Paduka akan dituduh tidak adil karena membunuh orang yang hanya menumpahkan setetes kuah ke pakaian Paduka. Karena itu aku berbuat kesalahan yang lebih besar lagi agar di mata rakyat Paduka tidak dipandang sebagai raja yang lalim (diktator).
"Wahai Raja," dia mulai menjelaskan, "dari sorot matamu aku dapat melihat Tuan akan menghukum mati aku. Aku khawatir Paduka akan dituduh tidak adil karena membunuh orang yang hanya menumpahkan setetes kuah ke pakaian Paduka. Karena itu aku berbuat kesalahan yang lebih besar lagi agar di mata rakyat Paduka tidak dipandang sebagai raja yang lalim (diktator).
Karena amat ingin memakan daging, Bahlul pergi menghadap raja untuk minta sepotong ekor domba. Untuk mengecohnya, raja menyuruh pelayan-pelayannya untuk membawakan beberapa lobak yang sudah dikupas dan putih warnanya sehingga menyerupai daging ekor domba.
Setelah mencicipinya dengan sekerat roti, Bahlul membuang sisanya seraya berkata:
"Karena kuasamu, wahai Syah, daging pada ekor domba pun lenyap. Karena kecanggunganmu, makanan pun kehilangan rasanya. Kini saatnya keluar dari kota ini."
Setelah mencicipinya dengan sekerat roti, Bahlul membuang sisanya seraya berkata:
"Karena kuasamu, wahai Syah, daging pada ekor domba pun lenyap. Karena kecanggunganmu, makanan pun kehilangan rasanya. Kini saatnya keluar dari kota ini."
Seseorang menghentikan Bahlul untuk bertanya kepadanya tentang sebuah pertanyaan penting yang telah menyusahkan dirinya.
"Jiwaku tergantung padamu." tambahnya.
"Cepat katakan!" kata Bahlul, "sebab kuda-kudaku ini suka bertingkah dan tak mau menunggu."
Orang ini karena didesak waktu, berusaha mengingat-ingat namun sia-sia.
"Aku lupa", katanya akhirnya.
"Jiwaku tergantung padamu." tambahnya.
"Cepat katakan!" kata Bahlul, "sebab kuda-kudaku ini suka bertingkah dan tak mau menunggu."
Orang ini karena didesak waktu, berusaha mengingat-ingat namun sia-sia.
"Aku lupa", katanya akhirnya.
Dengan sebuah tempayan di punggungnya, seorang buta berjalan di malam hari, sembari membawa lampu. Seorang temannya yang juga nuta lewat dan berkata:
"Alangkah bodohnya! Siang dan malam itu sama saja bagimu, dan kau membawa lampu di kegelapan malam!"
"Lampu ini untuk orang buta sepertimu sehingga tidak menabrakku dan memecahkan tempayan ini."
"Alangkah bodohnya! Siang dan malam itu sama saja bagimu, dan kau membawa lampu di kegelapan malam!"
"Lampu ini untuk orang buta sepertimu sehingga tidak menabrakku dan memecahkan tempayan ini."
Seorang pencuri datang menyatroni rumah seorang darwisy pada malam hari dan menggelar surbannya untuk membungkuskan hasil curiannya.
Setelah lama mencari, dia tak menemukan apa-apa.
Sementara itu, si darwisy yang tidur di lantai terguling ke surban itu.
Ketika si pencuri datang untuk mengambil surbannya, dia melihat si darwisy sedang tidur di atasnya.
Begitu hendak melangkah pergi dengan tangan kosong, si darwisy terbangun dan berseru, "Tolong tutupkan pintu depan."
"Kenapa harus ditutup?" sahut si pencuri, "Aku datang dan memberimu alas tidur, orang lain tak mungkin akan datang membawakan untukmu selimut."
Setelah lama mencari, dia tak menemukan apa-apa.
Sementara itu, si darwisy yang tidur di lantai terguling ke surban itu.
Ketika si pencuri datang untuk mengambil surbannya, dia melihat si darwisy sedang tidur di atasnya.
Begitu hendak melangkah pergi dengan tangan kosong, si darwisy terbangun dan berseru, "Tolong tutupkan pintu depan."
"Kenapa harus ditutup?" sahut si pencuri, "Aku datang dan memberimu alas tidur, orang lain tak mungkin akan datang membawakan untukmu selimut."
Seorang Darwisy yang kelaparan lewat di sebuah dusun. Dia mendengar bahwa seorang tuan tanah yang kaya raya yang sedang sekarat.
"Aku ini tabib," kata si darwisy kepada penduduk dusun. "Antarkan aku ke rumah tuan tanah itu."
Sesampainya di sana, dia merasakan denyut orang itu dan meminta roti segar, keju, kambing segar, dan anggur masak. Pelayan memberinya semua itu lalu pergi. Si darwisy menyantap semua itu, lalu berdoa untuk orang tua itu.
Baru saja ia hendak meninggalkan dusun itu, pasiennya meninggal dunia.
"Obatmu telah memberikan hasil yang sebaliknya", keluh penduduk desa itu.
"Bersyukurlah," sahut si darwisy, "sebab kalau bukan karena obatku, tentu yang meninggal dunia dua orang, bukannya satu orang."
"Aku ini tabib," kata si darwisy kepada penduduk dusun. "Antarkan aku ke rumah tuan tanah itu."
Sesampainya di sana, dia merasakan denyut orang itu dan meminta roti segar, keju, kambing segar, dan anggur masak. Pelayan memberinya semua itu lalu pergi. Si darwisy menyantap semua itu, lalu berdoa untuk orang tua itu.
Baru saja ia hendak meninggalkan dusun itu, pasiennya meninggal dunia.
"Obatmu telah memberikan hasil yang sebaliknya", keluh penduduk desa itu.
"Bersyukurlah," sahut si darwisy, "sebab kalau bukan karena obatku, tentu yang meninggal dunia dua orang, bukannya satu orang."
Setelah bertengkar dengan istrinya, Mulla pergi mengunjungi kota non-Muslim yang tak jauh dari kotanya. Di sana ia berkata:
"Kalian semua tahu bahwa aku adalah Mulla yang terkenal dan orang-orang Islam membanggakan diriku. Tapi belakangan ini aku sudah jenuh dengan agama itu. Jika kalian menerima dan menghormati dengan makanan yang enak, maka pada akhir bulan aku akan memeluk agama kalian."
Penduduk kota itu melakukan apa yang diinginkan Mulla, dan pada akhir bulan mereka memintanya untuk memeluk agama mereka. Mulla menjawab, "Jamulah aku beberapa hari lagi, semoga aku bisa memeluk agama kalian."
Pada malam hari ke lima puluh, dia berterima kasih kepada para tuan rumahnya seraya berkata, "Selama lima puluh tahun aku makan dari tangan orang-orang Islam dan aku belum menjadi Muslim. Mengapa kalian mengharapkan aku memeluk agama kalian dalam lima puluh hari?"
"Kalian semua tahu bahwa aku adalah Mulla yang terkenal dan orang-orang Islam membanggakan diriku. Tapi belakangan ini aku sudah jenuh dengan agama itu. Jika kalian menerima dan menghormati dengan makanan yang enak, maka pada akhir bulan aku akan memeluk agama kalian."
Penduduk kota itu melakukan apa yang diinginkan Mulla, dan pada akhir bulan mereka memintanya untuk memeluk agama mereka. Mulla menjawab, "Jamulah aku beberapa hari lagi, semoga aku bisa memeluk agama kalian."
Pada malam hari ke lima puluh, dia berterima kasih kepada para tuan rumahnya seraya berkata, "Selama lima puluh tahun aku makan dari tangan orang-orang Islam dan aku belum menjadi Muslim. Mengapa kalian mengharapkan aku memeluk agama kalian dalam lima puluh hari?"
Mulla mendatangi sebuah kebun dan memenuhi tasnya dengan semangka. Ketika hendak pergi, si pemilik kebun muncul.
"Tadi aku sedang lewat," Mulla mulai menjelaskan, "tiba-tiba angin kencang melontarkan aku ke dalam kebun ini."
"Bagaimana dengan semangka-semangka itu?" tanya pemilik kebun.
"Angin begitu kencang sehingga aku memegang apa saja yang dapat aku pegang. Itulah sebabnya mengapa semangka-semangka itu lepas.
"Siapa yang menaruhnya ke dalam tasmu?" sahut si pemilik kebun.
"Terus terang saja," sahut Mulla, "aku sendiri heran."
"Tadi aku sedang lewat," Mulla mulai menjelaskan, "tiba-tiba angin kencang melontarkan aku ke dalam kebun ini."
"Bagaimana dengan semangka-semangka itu?" tanya pemilik kebun.
"Angin begitu kencang sehingga aku memegang apa saja yang dapat aku pegang. Itulah sebabnya mengapa semangka-semangka itu lepas.
"Siapa yang menaruhnya ke dalam tasmu?" sahut si pemilik kebun.
"Terus terang saja," sahut Mulla, "aku sendiri heran."
Subscribe to:
Posts (Atom)