Home » Posts filed under Humor Sufi
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Mulla meminjam sebuah jambangan bunga besar dari tetangganya. Besoknya ia mengembalikan jambangan bunga itu beserta sebuah jambangan bunga kecil.
"Yang kecil ini bukan milik kami, "kata si tetangga.
"Ya, memang," sahut Mulla, "Semalam jambanganmu melahirkan yang kecil ini."
Si tetangga merasa senang dan menerima keduanya.
Beberapa hari kemudian Mulla meminjam jambangan besar itu lagi, tapi dia tidak mengembalikan keesokan harinya. Ketika si tetangga datang memintanya, Mulla berkata:
"Malang benar jambangan itu, ia sudah tak ada lagi. Semalam ia telah meninggal dunia."
"Bicara apa kamu ini." protes si tetangga. Mana mungkin jambangan bunga bisa mati?"
"Yah, mana mungkin jambangan bunga bisa melahirkan." jawab Mulla.
"Yang kecil ini bukan milik kami, "kata si tetangga.
"Ya, memang," sahut Mulla, "Semalam jambanganmu melahirkan yang kecil ini."
Si tetangga merasa senang dan menerima keduanya.
Beberapa hari kemudian Mulla meminjam jambangan besar itu lagi, tapi dia tidak mengembalikan keesokan harinya. Ketika si tetangga datang memintanya, Mulla berkata:
"Malang benar jambangan itu, ia sudah tak ada lagi. Semalam ia telah meninggal dunia."
"Bicara apa kamu ini." protes si tetangga. Mana mungkin jambangan bunga bisa mati?"
"Yah, mana mungkin jambangan bunga bisa melahirkan." jawab Mulla.
0
comments
Sufi Persia bernama, Bazayid Al-Bishtami, meriwayatkan kisah berikut:
Ketika aku sedang dalam perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, aku berjumpa dengan seorang darwisy (istilah lain sufi).
"Hendak kemana engkau?" tanyanya.
"Makkah." jawabku.
"Apakah yang akan engkau lakukan di sana?"
"Tawaf mengitari Ka'bah, seperti yang dilakukan para jamaah haji."
"Berapa uang yang kau bawa untuk perjalananmu itu?"
"Dua ratus dirham."
Si darwisy mengulurkan tangannya dan berkata:
"Berikan uang itu kepadaku dan kitarilah aku, sebab inilah sesungguhnya hajimu."
Aku melakukan apa yang disarankan itu.
Lalu aku kembali pulang.
Ketika aku sedang dalam perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, aku berjumpa dengan seorang darwisy (istilah lain sufi).
"Hendak kemana engkau?" tanyanya.
"Makkah." jawabku.
"Apakah yang akan engkau lakukan di sana?"
"Tawaf mengitari Ka'bah, seperti yang dilakukan para jamaah haji."
"Berapa uang yang kau bawa untuk perjalananmu itu?"
"Dua ratus dirham."
Si darwisy mengulurkan tangannya dan berkata:
"Berikan uang itu kepadaku dan kitarilah aku, sebab inilah sesungguhnya hajimu."
Aku melakukan apa yang disarankan itu.
Lalu aku kembali pulang.
Mulla telah bersumpah tidak akan meminjamkan keledainya. Ketika suatu sore seorang kawan datang ke rumahnya untuk meminjam keledainya. Mulla berkata keledainya tak ada di rumah.
Tetapi saat itu pula keledai yang diikatnya di halaman belakang, mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini," kata si kawan, "Kalau begitu suara apa itu?"
"Aku heran padamu," kata Mulla, "setelah empat puluh tahun bersahabat kamu masih tidak mempercayai kata-kataku, dan lebih mempercayai suara keledai."
Tetapi saat itu pula keledai yang diikatnya di halaman belakang, mulai bersuara.
"Katamu keledai itu tak ada di sini," kata si kawan, "Kalau begitu suara apa itu?"
"Aku heran padamu," kata Mulla, "setelah empat puluh tahun bersahabat kamu masih tidak mempercayai kata-kataku, dan lebih mempercayai suara keledai."
Di sebuah kota, Mulla berkunjung ke sebuah tempat mandi umum. Para pelayannya memperlakukan dia dengan tidak baik dan membasuh dan memijit dengan terburu-buru. Yang amat mengherankan dan membuat mereka senang adalah Mulla memberi mereka upah dan tip yang besar.
Pada kesempatan berikutnya mereka bersikap amat baik kepada Mulla dan melayaninya dengan baik.
Kali ini Mulla memberi upah mereka amat sedikit. Karena terkejut mereka menanyakan sebabnya.
"Untuk pelayanan hari ini sudah aku bayar kemarin dulu. Ini adalah untuk pelayanan yang dulu, supaya kalian sadar bahwa kalian itu orang-orang dusun yang serakah. Mulai sekarang layanilah langganan dengan sopan."
Pada kesempatan berikutnya mereka bersikap amat baik kepada Mulla dan melayaninya dengan baik.
Kali ini Mulla memberi upah mereka amat sedikit. Karena terkejut mereka menanyakan sebabnya.
"Untuk pelayanan hari ini sudah aku bayar kemarin dulu. Ini adalah untuk pelayanan yang dulu, supaya kalian sadar bahwa kalian itu orang-orang dusun yang serakah. Mulai sekarang layanilah langganan dengan sopan."
Ada seorang tolol yang setiap hari kerjanya duduk-duduk di pasar seraya memegangi hidungnya. Ketika seseorang bertanya mengapa ia berbuat begitu, si tolol menjawab, "Pasar ini berbau busuk karena ketamakan para pedagang."
"Makanya jangan duduk di pasar."
"Tak apalah, sebab aku sendiri juga tamak. Aku ingin mempelajari cara hidup mereka yang bodoh untuk mengambil hikmahnya."
"Makanya jangan duduk di pasar."
"Tak apalah, sebab aku sendiri juga tamak. Aku ingin mempelajari cara hidup mereka yang bodoh untuk mengambil hikmahnya."
Suatu hari Mulla Nashruddin sedang memandang ke arah jalan melalui jendela ketika orang yang mengutanginya sedang menuju ke rumahnya. Mengetahui maksud orang itu, Mulla memanggil istrinya dan berkata bagaimana cara menghadapi orang itu.
Lalu istrinya membukakan pintu dan berkata, "Ya Tuan, aku tahu kami belum dapat membayarmu. Meskipun Mulla sendiri tak ada di rumah saat ini, berpikir siang-malam untuk mendapatkan sejumlah uang untuk membayarmu. Dia bahkan menyuruhku untuk mengamati jalan dan bahkan bila ada sekawanan domba yang lewat, aku disuruhnya keluar dan memungut bulu-bulunya yang tersangkut di semak-semak. Lalu kami memintalnya menjadi selendang, menjualnya, dan dengan uang itu membayarmu."
Ketika istri sampai pada kata-kata terakhir itu, lelaki itu mulai tertawa-tawa. Pada saat itulah Mulla keluar dari persembunyiannya seraya berkata:
"Hai bangsat, begitu mencium bau uang engkau mulai tertawa-tawa."
Lalu istrinya membukakan pintu dan berkata, "Ya Tuan, aku tahu kami belum dapat membayarmu. Meskipun Mulla sendiri tak ada di rumah saat ini, berpikir siang-malam untuk mendapatkan sejumlah uang untuk membayarmu. Dia bahkan menyuruhku untuk mengamati jalan dan bahkan bila ada sekawanan domba yang lewat, aku disuruhnya keluar dan memungut bulu-bulunya yang tersangkut di semak-semak. Lalu kami memintalnya menjadi selendang, menjualnya, dan dengan uang itu membayarmu."
Ketika istri sampai pada kata-kata terakhir itu, lelaki itu mulai tertawa-tawa. Pada saat itulah Mulla keluar dari persembunyiannya seraya berkata:
"Hai bangsat, begitu mencium bau uang engkau mulai tertawa-tawa."
Suatu hari, seorang penyair Sufi, Jami membacakan baris berikut dari salah satu sufistiknya:
"Begitu kuatnya diri-Mu dalam hati
dan jiwa letihku
Sehingga siapapun yang tampak
di kejauhan,
Aku melihatnya sebagai diri-Mu"
Seseorang yang lewat bertanya, "Bagaimana kalau yang tampak di kejauhan itu seekor keledai jantan?"
"Aku tetap berpikir itu kamu." jawab Jami.
"Begitu kuatnya diri-Mu dalam hati
dan jiwa letihku
Sehingga siapapun yang tampak
di kejauhan,
Aku melihatnya sebagai diri-Mu"
Seseorang yang lewat bertanya, "Bagaimana kalau yang tampak di kejauhan itu seekor keledai jantan?"
"Aku tetap berpikir itu kamu." jawab Jami.
Sybli bertemu dengan orang gila. Dia segera menyadari pada diri orang gila itu ada cahaya kebenaran. Orang gila itu berkata kepada Syibli:
"Bila kamu berdoa di pagi hari, katakan kepada Tuhan atas namaku: "Engkau telah pisahkan aku dari keluargaku. Kain rombengan pun tidak engkau tinggalkan pada tubuhku. Engkau telah menjadikan aku aib bagi setiap kota, asing di setiap kota."
Ketika Syibli sudah pergi agak jauh, orang gila itu memanggil-memanggilnya:
"Jangan katakan kepada-Nya apa yang aku katakan kepadamu, bisa-bisa Dia malah memperparah keadaan."
"Bila kamu berdoa di pagi hari, katakan kepada Tuhan atas namaku: "Engkau telah pisahkan aku dari keluargaku. Kain rombengan pun tidak engkau tinggalkan pada tubuhku. Engkau telah menjadikan aku aib bagi setiap kota, asing di setiap kota."
Ketika Syibli sudah pergi agak jauh, orang gila itu memanggil-memanggilnya:
"Jangan katakan kepada-Nya apa yang aku katakan kepadamu, bisa-bisa Dia malah memperparah keadaan."
Maulana Arsyad Faiz adalah seorang khatib yang fasih sekaligus darwisy yang suka meminta-minta. Suatu hari, Raja memanggilnya ke istananya dan berkata:
"Atas usulan para menteriku, aku utus kamu sebagai delegasi ke istana Syah Syoja di Syiraz. Namun aku ingin kamu berjanji tidak akan meminta-minta selama berada di sana."
Maulana melakukan apa yang diminta dan pergi menuju Syiraz.
Setelah selesai misinya yang berhasil itu, dia disapa oleh Syeh dari Syiraz:
"Kemasyhuran khutbahmu sampai ke negeri kami dan membuat kami ingin mendengarkan salah satu khutbahmu."
Maulana setuju.
Pada hari yang ditentukan, hari Jum'at, dia naik mimbar dan menyampaikan khutbah yang menyentuh perasaan, sampai orang-orang meneteskan air mata. Tetapi sebelum meninggalkan mimbar, tiba-tiba dia tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak meminta-minta, dia berkata:
"Wahai kaum Muslimin! Sampai beberapa minggu lalu aku biasa meminta-minta. Namun sebelum berangkat ke sini mereka meminta aku bersumpah tidak akan meminta-minta selama berada di kota Anda. Aku bertanya kepada kalian, saudara-saudaraku, kalau aku telah disumpah untuk tidak meminta-minta, apakah kalian juga telah disumpah untuk tidak memberiku apa-apa?"
"Atas usulan para menteriku, aku utus kamu sebagai delegasi ke istana Syah Syoja di Syiraz. Namun aku ingin kamu berjanji tidak akan meminta-minta selama berada di sana."
Maulana melakukan apa yang diminta dan pergi menuju Syiraz.
Setelah selesai misinya yang berhasil itu, dia disapa oleh Syeh dari Syiraz:
"Kemasyhuran khutbahmu sampai ke negeri kami dan membuat kami ingin mendengarkan salah satu khutbahmu."
Maulana setuju.
Pada hari yang ditentukan, hari Jum'at, dia naik mimbar dan menyampaikan khutbah yang menyentuh perasaan, sampai orang-orang meneteskan air mata. Tetapi sebelum meninggalkan mimbar, tiba-tiba dia tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak meminta-minta, dia berkata:
"Wahai kaum Muslimin! Sampai beberapa minggu lalu aku biasa meminta-minta. Namun sebelum berangkat ke sini mereka meminta aku bersumpah tidak akan meminta-minta selama berada di kota Anda. Aku bertanya kepada kalian, saudara-saudaraku, kalau aku telah disumpah untuk tidak meminta-minta, apakah kalian juga telah disumpah untuk tidak memberiku apa-apa?"
Di kota Merw, seorang dungu memutuskan akan tidur malam itu di Masjid. Agar tidak hilang di tengah-tengah kerumunan orang, dia mengikatkan labu di kakinya lalu tidur di atas tikar jerami.
Seseorang melepaskan labu itu dan mengikatkannya pada kakinya sendiri. Lalu dia merebahkan diri di samping si dungu itu dan tidur.
Ketika si dungu itu bangun, dia melihat labunya diikatkan pada kaki orang lain. Dia mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
"Ya Allah, kalau dia itu aku, lalu siapa aku ini?"
Seseorang melepaskan labu itu dan mengikatkannya pada kakinya sendiri. Lalu dia merebahkan diri di samping si dungu itu dan tidur.
Ketika si dungu itu bangun, dia melihat labunya diikatkan pada kaki orang lain. Dia mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
"Ya Allah, kalau dia itu aku, lalu siapa aku ini?"
Seorang famili-jauh mengetuk pintu Mulla dan berkata: "Kudengar kamu punya cuka bagus yang sudah berusia tujuh tahun."
"Betul." kata Mulla.
"Beri aku sedikit" kata orang itu.
"Wah," sahut Mulla, "kalau aku berikan cukaku kepada setiap kawan atau keluarga yang mengetuk pintu rumahku, tentu cuka itu tidak akan bertahan tujuh hari, apalagi tujuh tahun."
"Betul." kata Mulla.
"Beri aku sedikit" kata orang itu.
"Wah," sahut Mulla, "kalau aku berikan cukaku kepada setiap kawan atau keluarga yang mengetuk pintu rumahku, tentu cuka itu tidak akan bertahan tujuh hari, apalagi tujuh tahun."
Seorang darwisy yang tidak punya apa-apa selain pantalon yang sudah sobek-sobek berkata kepada seorang kaya:
"Jika aku kebetulan mati di pekarangan rumahmu, apa yang kamu lakukan?"
"Apa lagi kalau bukan membungkus jasadmu dengan kain kafan dan lalu menguburmu." kata orang itu.
"Beri aku baju sekarang. Sebagai imbalannya, kalau aku mati kau boleh menguburku tapa kain kafan." sahut si darwisy.
"Jika aku kebetulan mati di pekarangan rumahmu, apa yang kamu lakukan?"
"Apa lagi kalau bukan membungkus jasadmu dengan kain kafan dan lalu menguburmu." kata orang itu.
"Beri aku baju sekarang. Sebagai imbalannya, kalau aku mati kau boleh menguburku tapa kain kafan." sahut si darwisy.
Suatu hari Raja Harun Al-Rasyid yang merasa sangat terganggu oleh pikiran-bebas Bahlul, dan berkata kepadanya:
"Jika kamu dapat membuktikan bahwa aku tidak lebih kuasa dari makhluk lain, termasuk kamu sendiri, aku akan memberimu seratus keping emas. Jika tidak dapat, aku akan mengarakmu dengan jenggot tercukur di atas keledai, mengelilingi kota seperti orang gila."
"Akan aku coba. Tetapi sebelumnya aku minta Paduka memerintahkan lalat-lalat agar tidak menggangguku," jawab Bahlul.
"Tapi lalat tidak mungkin mematuhi perintahku," kata Raja. Lalu dia berpikir sejenak dan membatalkan taruhannya.
"Jika kamu dapat membuktikan bahwa aku tidak lebih kuasa dari makhluk lain, termasuk kamu sendiri, aku akan memberimu seratus keping emas. Jika tidak dapat, aku akan mengarakmu dengan jenggot tercukur di atas keledai, mengelilingi kota seperti orang gila."
"Akan aku coba. Tetapi sebelumnya aku minta Paduka memerintahkan lalat-lalat agar tidak menggangguku," jawab Bahlul.
"Tapi lalat tidak mungkin mematuhi perintahku," kata Raja. Lalu dia berpikir sejenak dan membatalkan taruhannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)