Home » Posts filed under Humor Sufi
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Showing posts with label Humor Sufi. Show all posts
Humor - Humor Sufi
- Bersyukur Kepada Allah
- Bilang kepada Lalat, Jangan Ganggu Aku
- Bosan Terhadap Guru
- Buku Filsafat
- Burung yang Bisa Berpikir
- Cuka Berusia Tujuh Tahun
- Darwisy dan Si Kikir-Kaya
- Debat Si Tolol dan Si Sarjana
- Delegasi
- Di Kedai Kue
- Kuda yang Berjalan Mundur
- Lelaki Berwajah Buruk
- Matinya Jambangan Bunga
- Memanggil Kucing
- Membayar Utang
- Menghadapi Musuh
- Menyanyi di Kamar Mandi
- Menyelamatkan Nyawa
- Mimpi Terindah
- Mulla dan Pelayan Tempat Mandi Umum
0
comments
Pada sebuah pesta malam, seorang darwisy kebetulan duduk di sebelah seorang astronom yang angkuh.
"Anda kenal aku?" tanya sang darwisy kepada astronom.
"Tidak," katanya.
"Bagaimana anda mengetahui bintang-bintang di langit," sahut sang darwisy, "kalau Anda tidak kenal orang yang duduk di sebelah anda?"
"Anda kenal aku?" tanya sang darwisy kepada astronom.
"Tidak," katanya.
"Bagaimana anda mengetahui bintang-bintang di langit," sahut sang darwisy, "kalau Anda tidak kenal orang yang duduk di sebelah anda?"
Seorang tolol menjadi tamu sebuah keluarga jauh, yang menempatkannya di ruang bawah di mana ada sebuah tempat tidur.
Di tengah malam sang tuan rumah terbangun karena suara tawa sang tamu yang berasal dari lantai atas.
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini.” tanya si tuan rumah. “Kamu seharusnya tidur di lantai bawah.”
“Memang,” jawab si tamu. “Aku jatuh dari tempat tidurku.”
“Lalu bagaimana kamu jatuh ke atas?”
“Itulah yang membuatku tertawa.”
Seeorang memberikan hadiah seekor keledai kepada sang amir. Orang-orang yang hadir ketika itu mulai memuji-muji binatang itu. Akhirnya, seseorang berkata:” Aku malah dapat mengajar keledai ini membaca buku.”
Sang amir pun menjadi murka dan berkata, “Kamu harus dapat membuktikannya. Bawa keledai ini dan ajarilah ia membaca dalam waktu satu bulan. Jika tak brhasil, akan kupenggal kepalamu. Jika berhasil akan kuberi kau sepuluh keping emas.”
Si lelaki itu lalu membawa keledai itu pulang. Setelah beberapa hari mengembara dia berjumpa dengan seorang sufi di jalan dan menceritakan ancaman berat sang amir.
Sang sufi berkata: “Ambillah sebuah kitab yang besar, seperti kitab filsafat, dan letakkan jerami di antara lembar-lembar halaman kitab itu. Buatlah supaya keleda itu lapar selama sehari, lalu bukalah kitab itu di depan binatang itu, dan bukalah lembar demi lembar halaman kitab itu begitu keledai itu makan jerami dari tiap-tiap halaman. Pada akhir bulan, sebelum bertemu dengan sang amir, buatlah binatang itu lapar lagi. Pada hari yang telah ditentukan, bawalah keledai itu kepada sang amir bersama-sama dengan kitab itu, tetapi kali ini jangan letakkan jerami di antara halaman-halaman kitab itu.”
Seorang sufi yang arif melihat seorang laki-laki mondar-mandir di jalan, dengan wajah berduka dan putus asa.
"Apakah kamu baru saja dizalimi?" tanya sang arif.
Lelaki itu berkata: "Aku ini orang asing di daerah ini. Ketika aku pergi ke tempat mandi umum, aku menitipkan uangku dan seluruh milikku kepada seorang penjaja makanan. Ketika aku hendak mengambilnya kembali, si penjaja makanan itu menendangku ke luar dari kedainya."
Sang arif berkata: "Jangan cemas, aku tahu caranya mendapatkan itu semua. Besok siang aku akan ke kedai makanan itu. Kamu datang ke sana, tapi jangan berbicara denganku, dan mintalah milikmu itu kembali."
Lalu sang arif pergi ke penjaja makanan itu dan berkata : "Aku sedang berencana akan pergi haji. Karena aku punya banyak sekali emas dan permata, aku akan menitipkannya padamu. Jika aku tidak kembali dalam waktu tertentu, terselahlah kepadamu kalau kamu mau menjualnya dan menggunakan uangnya untuk amal."
Girang sekali si penjaja makanan itu mendengar hal itu, dan berkata:
"Aku akan lakukan dengan senang hati. Kapan akan kamu bawa permata-permata itu?"
"Besok siang," sahut sang arif.
Keesokan harinya sang arif itu mengisi sebuah tas besar dengan batu-batu dan pecahan-pecahan kaca, lalu menemui si penjaja makanan itu pada siang hari. Mata si penjaja makanan melihat tas yang mengembung itu dan dia mendecakkan kedua bibirnya.
Pada saat itu sang musafir memasuki kedai dan berkata: "Aku datang untuk mengambil barang-barangku yang kutitipkan kepadamu."
"Oh, ya." kata si penjaja makanan, dan menyuruh pembantunya untuk mengambilkan barang-barang si musafir itu.
"Apakah kamu baru saja dizalimi?" tanya sang arif.
Lelaki itu berkata: "Aku ini orang asing di daerah ini. Ketika aku pergi ke tempat mandi umum, aku menitipkan uangku dan seluruh milikku kepada seorang penjaja makanan. Ketika aku hendak mengambilnya kembali, si penjaja makanan itu menendangku ke luar dari kedainya."
Sang arif berkata: "Jangan cemas, aku tahu caranya mendapatkan itu semua. Besok siang aku akan ke kedai makanan itu. Kamu datang ke sana, tapi jangan berbicara denganku, dan mintalah milikmu itu kembali."
Lalu sang arif pergi ke penjaja makanan itu dan berkata : "Aku sedang berencana akan pergi haji. Karena aku punya banyak sekali emas dan permata, aku akan menitipkannya padamu. Jika aku tidak kembali dalam waktu tertentu, terselahlah kepadamu kalau kamu mau menjualnya dan menggunakan uangnya untuk amal."
Girang sekali si penjaja makanan itu mendengar hal itu, dan berkata:
"Aku akan lakukan dengan senang hati. Kapan akan kamu bawa permata-permata itu?"
"Besok siang," sahut sang arif.
Keesokan harinya sang arif itu mengisi sebuah tas besar dengan batu-batu dan pecahan-pecahan kaca, lalu menemui si penjaja makanan itu pada siang hari. Mata si penjaja makanan melihat tas yang mengembung itu dan dia mendecakkan kedua bibirnya.
Pada saat itu sang musafir memasuki kedai dan berkata: "Aku datang untuk mengambil barang-barangku yang kutitipkan kepadamu."
"Oh, ya." kata si penjaja makanan, dan menyuruh pembantunya untuk mengambilkan barang-barang si musafir itu.
Amir kota membacakan sebuah syair yang di gubahnya dan meminta pendapat Bahlul.
"Aku tidak menyukainya." sahut Bahlul.
Amir pun marah dan memerintahkan agar Bahlul dijebloskan ke dalam penjara.
Minggu berikutnya si amir memanggil Bahlul dan membacakan lagi di hadapannya syairnya yang lain. "Bagaimana dengan yang ini?"
Bahlul segera bangkit berdiri.
"Hendak kemana kamu?" tanya si amir.
"Ke penjara." jawab Bahlul.
"Aku tidak menyukainya." sahut Bahlul.
Amir pun marah dan memerintahkan agar Bahlul dijebloskan ke dalam penjara.
Minggu berikutnya si amir memanggil Bahlul dan membacakan lagi di hadapannya syairnya yang lain. "Bagaimana dengan yang ini?"
Bahlul segera bangkit berdiri.
"Hendak kemana kamu?" tanya si amir.
"Ke penjara." jawab Bahlul.
Sekelompok pemuda bersepakat akan memainkan Mulla Nashruddin. Masing-masing di antara mereka membawa telur dan mengajak Mulla ke tempat mandi umum.
Di dalam tempat mandi umum mereka berkata: "Kita sekarang mau bertelur, yang tidak bertelur harus mentraktir."
Lalu para pemuda itu berjongkok, berkokok, dan menggelindingkan telur yang mereka sembunbunyikam di dalam celana mereka. Seraya berpaling ke arah Mulla, mereka melihatnya sedang mengepak-kepakan kedua tangannya dan mulai bersuara seperti ayam jantan.
"Demikian banyak ayam betina membutuhkan seekor ayam jantan.' kata si tua Mulla kepada pemuda yan keheranan itu.
Di dalam tempat mandi umum mereka berkata: "Kita sekarang mau bertelur, yang tidak bertelur harus mentraktir."
Lalu para pemuda itu berjongkok, berkokok, dan menggelindingkan telur yang mereka sembunbunyikam di dalam celana mereka. Seraya berpaling ke arah Mulla, mereka melihatnya sedang mengepak-kepakan kedua tangannya dan mulai bersuara seperti ayam jantan.
"Demikian banyak ayam betina membutuhkan seekor ayam jantan.' kata si tua Mulla kepada pemuda yan keheranan itu.
Seorang pencuri menyatroni rumah seorang darwisy. Setelah lama mencari-cari, dia tidak menemukan apa-apa. Sebelum pergi dia membuka pintu lemari dan melihat si darwisy bersembunyi di sana.
"Kenapa kamu bersembunyi, apa yang kamu lakukan?" tanya si pencuri keheranan.
"Aku bersembunyi dari rasa malu." sahut darwisy.
"Kenapa kamu bersembunyi, apa yang kamu lakukan?" tanya si pencuri keheranan.
"Aku bersembunyi dari rasa malu." sahut darwisy.
Di sebuah kapal, seorang budak amat ketakutan dengan badai di laut, sehingga dia hanya dapat berteriak-teriak dan menangis. Para penumpang lainnya tidak tahan lagi dengan ulahnya, lalu meminta nasihat kepada Bahlul.
"Buang saja dia ke laut," kata Bahlul, "dan begitu dia mau tenggelam, angkat lagi ke kapal. Barulah nanti dia akan menyadari kenyamanan kapal dan duduk tenang."
"Buang saja dia ke laut," kata Bahlul, "dan begitu dia mau tenggelam, angkat lagi ke kapal. Barulah nanti dia akan menyadari kenyamanan kapal dan duduk tenang."
Suatu hari, Mulla membawa keledainya ke pasar untuk dijual. Setiap ada pembeli yang mendekat, si keledai menunjukkan giginya ingin menggigit, atau menyepak-nyepak.
Akhirnya seseorang berkata: "Melihat perilaku keledai ini, pasti tidak ada yang mau membelinya."
"Aku juga tidak mau menjualnya," sahut Mulla. "Aku hanya ingin orang melihat binatang macam apa yang harus kurawat."
Akhirnya seseorang berkata: "Melihat perilaku keledai ini, pasti tidak ada yang mau membelinya."
"Aku juga tidak mau menjualnya," sahut Mulla. "Aku hanya ingin orang melihat binatang macam apa yang harus kurawat."
Mulla berkhutbah di masjid: "Di antara tanda-tanda keajaiban Yang Mahakuasa adalah halilintar. Halilintar adalah malaikat yang lebih kecil daripada burung gereja, lebih besar daripada burung elang."
"Kamu keliru," kata seseorang, "Seharusnya lebih besar daripada burung gereja, lebih kecil daripada burung elang."
Mulla berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, bukan keajaiban namanya."
"Kamu keliru," kata seseorang, "Seharusnya lebih besar daripada burung gereja, lebih kecil daripada burung elang."
Mulla berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, bukan keajaiban namanya."
Di jalan, tiga orang pencuri melihat seorang laki-laki naik keledai memasuki kota. Di belakang keledai itu, ada seekor kambing berkalung lonceng.
Salah seorang pencuri berkata bangga:
"Aku akan mencuri kambingnya."
Pencuri kedua berkata: "Itu sih perkara kecil. Aku akan mencuri keledai yang ditungganginya."
Pencuri ketiga berkata: "Aku akan mencuri pakaian yang dipakainya."
Pencuri pertama lau mengikuti lelaki itu, dan di sudut jalan mengikatkan lonceng pada ekor keledai, lalu mencuri kambingnya.
Lonceng tetap berbunyi, dan si orang desa itu mengira kambingya masih ada di belakangnya.
Pencuri kedua, yang menunggu di sudut lain, menghadap lelaki itu dan berkata: "Kebiasaan baru, ya? Menggantungkan lonceng pada ekor keledai?"
Lelaki itu menengok ke belakang dan berkata, "Kambingku hilang!"
Pencuri itu berkata: "Aku baru saja melihat seseorang membawa seekor kambing melewati jalan itu."
"Tolong, awasi keledaiku ini," kata lelaki itu dan lari mengejar kambingnya.
Pencuri itu lalu lari dengan mengendarai keledai itu.
Lelaki itu lalu menjelajahi jalan, mencari-cari orang yang mencuri kambingnya namun sia-sia. Lalu ia kembali untuk mengambil keledainya dan tahulah apa yang terjadi. Sejenak ia berjalan lemas sampai akhirnya secara kebetulan ia bertemu seseorang yang sedang duduk di samping sebuah sumur sembari menangis.
"Ada apa denganmu? Mereka mencuri kambing dan keledaiku. Kenapa kamu menangis seperti ini?"
"Peti hartaku tercebur ke dalam sumur ini. Aku takut sekali masuk ke dalamnya. Kalau kamu mendapatkan peti itu, aku akan bagi harta yang ada di dalam peti itu, separuh untukmu."
Karena ingin menutup kerugiannya, orang dusun itu segera mencopot pakaiannya dan masuk ke dalam sumur.
Ketika dia naik ke atas, tanpa membawa hasil, dia melihat pakaiannya telah raib. Lalu mulai menggunakan tongkat besar, dan memutar-mutarnya. Orang-orang pun lalu mengerumuninya.
"Mereka telah mencuri seluruh milikku. Sekarang aku takut mereka akan mencuri diriku juga."
Salah seorang pencuri berkata bangga:
"Aku akan mencuri kambingnya."
Pencuri kedua berkata: "Itu sih perkara kecil. Aku akan mencuri keledai yang ditungganginya."
Pencuri ketiga berkata: "Aku akan mencuri pakaian yang dipakainya."
Pencuri pertama lau mengikuti lelaki itu, dan di sudut jalan mengikatkan lonceng pada ekor keledai, lalu mencuri kambingnya.
Lonceng tetap berbunyi, dan si orang desa itu mengira kambingya masih ada di belakangnya.
Pencuri kedua, yang menunggu di sudut lain, menghadap lelaki itu dan berkata: "Kebiasaan baru, ya? Menggantungkan lonceng pada ekor keledai?"
Lelaki itu menengok ke belakang dan berkata, "Kambingku hilang!"
Pencuri itu berkata: "Aku baru saja melihat seseorang membawa seekor kambing melewati jalan itu."
"Tolong, awasi keledaiku ini," kata lelaki itu dan lari mengejar kambingnya.
Pencuri itu lalu lari dengan mengendarai keledai itu.
Lelaki itu lalu menjelajahi jalan, mencari-cari orang yang mencuri kambingnya namun sia-sia. Lalu ia kembali untuk mengambil keledainya dan tahulah apa yang terjadi. Sejenak ia berjalan lemas sampai akhirnya secara kebetulan ia bertemu seseorang yang sedang duduk di samping sebuah sumur sembari menangis.
"Ada apa denganmu? Mereka mencuri kambing dan keledaiku. Kenapa kamu menangis seperti ini?"
"Peti hartaku tercebur ke dalam sumur ini. Aku takut sekali masuk ke dalamnya. Kalau kamu mendapatkan peti itu, aku akan bagi harta yang ada di dalam peti itu, separuh untukmu."
Karena ingin menutup kerugiannya, orang dusun itu segera mencopot pakaiannya dan masuk ke dalam sumur.
Ketika dia naik ke atas, tanpa membawa hasil, dia melihat pakaiannya telah raib. Lalu mulai menggunakan tongkat besar, dan memutar-mutarnya. Orang-orang pun lalu mengerumuninya.
"Mereka telah mencuri seluruh milikku. Sekarang aku takut mereka akan mencuri diriku juga."
Suatu hari Mulla berada di lumbung desa, memenuhi tasnya dengan mengambil sedikit gandum dari masing-masing orang.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya seseorang.
"Sebab aku ini seorang yang tolol," sahut Mulla.
"Kenapa tidak kamu isi saja tas orang lain dengan gandummu sendiri?" tanya orang itu.
"Ya," sahut Mulla, "tentu saja aku menjadi lebih tolol kalau begitu."
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya seseorang.
"Sebab aku ini seorang yang tolol," sahut Mulla.
"Kenapa tidak kamu isi saja tas orang lain dengan gandummu sendiri?" tanya orang itu.
"Ya," sahut Mulla, "tentu saja aku menjadi lebih tolol kalau begitu."
Suatu hari Mulla menyanyi di kamar mandi umum, dan betapa terkejutnya dia, karena ternyata dia suaranya merdu.
Dia lalu pergi menemui Raja dan minta agar mendengarkan suaranya.
"Aku datang untuk mempersembahkan satu bakatku, yang tidak aku sadari sampai sekarang." katanya kepada Raja.
"Bakat apa itu?" tanya Raja.
"Menyanyi," sahut Mulla
"Bagus," Raja merasa senang. "Bernyanyilah agar kami senang."
"Untuk dapat menyanyi, "kata Mulla, "Aku butuh kamar mandi atau tempayan besar yang separuhnya diisi air."
Raja memerintahkan sebuah tempayan besar yang separuhnya diisi air, agar diletakkan di dalam balairung.
Mulla memasukkan kepalanya ke dalam tempayan dan mulai menyanyi. Tentu saja nyanyiannya amat jelek hingga Raja mau muntah karena muak. Lalu Raja memerintahkan orang-orangnya untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam tempayan dan menampar terus wajah Mulla, sampai air di tempayan habis.
Pada tamparan kedua Mulla berlutut dan bersyukur kepada Tuhan atas kemurahan-Nya.
"Apa yang sedang kamu lakukuan?" tanya Raja.
"Aku sedang bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya sehingga aku dapat bernyanyi untuk Tuan di dalam tempayan dan bukan di kamar mandi. Kalau tidak, tentu aku akan terus-terusan di sini selama berhari-hari menyanyi dan menerima tamparan-tamparan."
Dia lalu pergi menemui Raja dan minta agar mendengarkan suaranya.
"Aku datang untuk mempersembahkan satu bakatku, yang tidak aku sadari sampai sekarang." katanya kepada Raja.
"Bakat apa itu?" tanya Raja.
"Menyanyi," sahut Mulla
"Bagus," Raja merasa senang. "Bernyanyilah agar kami senang."
"Untuk dapat menyanyi, "kata Mulla, "Aku butuh kamar mandi atau tempayan besar yang separuhnya diisi air."
Raja memerintahkan sebuah tempayan besar yang separuhnya diisi air, agar diletakkan di dalam balairung.
Mulla memasukkan kepalanya ke dalam tempayan dan mulai menyanyi. Tentu saja nyanyiannya amat jelek hingga Raja mau muntah karena muak. Lalu Raja memerintahkan orang-orangnya untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam tempayan dan menampar terus wajah Mulla, sampai air di tempayan habis.
Pada tamparan kedua Mulla berlutut dan bersyukur kepada Tuhan atas kemurahan-Nya.
"Apa yang sedang kamu lakukuan?" tanya Raja.
"Aku sedang bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya sehingga aku dapat bernyanyi untuk Tuan di dalam tempayan dan bukan di kamar mandi. Kalau tidak, tentu aku akan terus-terusan di sini selama berhari-hari menyanyi dan menerima tamparan-tamparan."
Mulla masuk ke kedai kue, lalu menghambur ke sebuah talam yang berisi zulubiya (sejenis kue) dan mulai melahapnya.
Pemilik kedai lalu memukulinya dengan tongkat, mencoba untuk menghentikannya.
Mulla tetap saja terus melahap kue-kue itu, seraya berkata dengan riang, "Hebat benar kota ini, ramah benar pemilik kedainya memaksa orang untuk melahap kue-kuenya."
Pemilik kedai lalu memukulinya dengan tongkat, mencoba untuk menghentikannya.
Mulla tetap saja terus melahap kue-kue itu, seraya berkata dengan riang, "Hebat benar kota ini, ramah benar pemilik kedainya memaksa orang untuk melahap kue-kuenya."
Suatu hari seorang sarjana Romawi berkunjung ke Istana Timur. Kaisar minta Mulla agar siap beradu kecerdikan dengan si sarjana terkemuka itu.
Mulla menaruh dua keranjang di atas punggung keledainya dan mengisinya dengan batu bata. Di atas masing-masing keranjang itu dia meletakkan buku besar bohong-bohongan dengan judul yang dibuat-buat seperti Teori Cabang-Cabang Universal, Erosi dan Peradaban, Asal-Muasal Sosial De-aktivasi Mental, dan Kritik terhadap Kesucian Toleran.
Pada hari yang sudah ditentukan, dia hadir di istana diikuti keledainya dengan perlengkapannya.
Pada babak pertama diskusi, sarjana Romawi itu dapat membuktikan kecerdasan dan kecerdikan Mulla. Si Sarjana itu akhirnya bangkit berdiri dan, untuk dapat menguji pengetahuan Mulla tentang simbologi dan teori, mengangkat satu jari ke atas.
Mulla menjawabnya dengan mengangkat dua jari ke atas.
Si Romawi menunjukkan tiga jari.
Mulla menunjukkan empat jari.
Si Sarjana menunjukkan lima jari.
Mulla mengacungkan kepalan tangan.
Si Sarjana merogoh tasnya dan mengeluarkan sebutir telur.
Mulla mengeluarkan sebutir bawang dari kantongnya.
Begitu melihat bawang itu si Sarjana Romawi berkata:
"Apa buktimu?"
Mulla menyebutkan Teori Cabang-Cabang Universal, dan lain-lain, dan lain-lain.
"Tapi aku belum pernah mendengar teori-teori seperti itu," kata si sarjana.
"Memang kamu belum pernah mendengarnya," sahut Mulla. "Coba sekarang lemparkan pandanganmu melalui jendela dan lihatlah beratus-ratus buku lain yang serupa yang belum pernah kamu baca."
Si Romawi itu melihat ke halaman. Dia melihat seekor keledai membawa keranjang-keranjang penuh buku. Si sarjana itu amat terkesan sehingga dia mengaku kalah.
Tak seorang pun yang dapat mengerti arti isyarat-isyarat dari dua orang yang sedang berdebat itu. Setelah keadaan tenang, kaisar mendekati sarjana Romawi itu dan berbisik: "Apa makna isyarat dan lambang-lambang yang kamu sampaikan kepada Mulla, dan apa jawabannya?"
"Dia sungguh luar biasa," jawab si Romawi itu.
"Ketika aku mengangkat sebuah jari, yang artinya bahwa ada satu Tuhan saja, sia mengangkat dua jari, yang artinya dia menciptakan dua alam. Aku tunjukkan tiga jari, yang berarti siklus kehamilan-hidup-mati manusia, Mulla menunjukkan empat jari, yang artinya bahwa tubuh manusia terdiri empat unsur: tanah, air, api, udara..."
"Bagaimana dengan telur dan bawang itu?" tanya kaisar.
"Telur itu lambang bumi (kuning telur) yang dikelilingi langit-langit. Tapi Mulla mengeluarkan bawang, yang artinya lapisan-lapisan langit yang mengitari bumi; aku protes supaya dia memperkuat pertanyaanya yang mengatakan bahwa langit dan bawang itu punya lapisan yang sama jumlahnya. Mulla memang sangat pandai." simpul si Romawi dan lalu minta diri.
Setelah si Romawi itu pergi, kaisar melontarkan pertanyaan yang sama kepada Mulla.
Jawab Mulla, "Sangat sederhana, Yang Mulia. Ketika dia mengarahkan satu jarinya ke arahku, aku arahkan dua jari, yang artinya kucongkel nanti kedua matanya. Ketika dia mengangkat tiga jari, itu jelas bahwa dia hendak menendangku tiga kali. Aku balas dengan memberikan empat tendangan. Tapak tangannya tentu saja berarti tamparan di wajah, untuk itu aku acungkan kepalan tinju. Nah, ketika tahu bahwa aku sungguh-sungguh, dia mulai bermanis-manis dan menawariku telur. Lalu aku keluarkan bawang dari kantong bajuku, dan kusodorkan kepadanya."
Mulla menaruh dua keranjang di atas punggung keledainya dan mengisinya dengan batu bata. Di atas masing-masing keranjang itu dia meletakkan buku besar bohong-bohongan dengan judul yang dibuat-buat seperti Teori Cabang-Cabang Universal, Erosi dan Peradaban, Asal-Muasal Sosial De-aktivasi Mental, dan Kritik terhadap Kesucian Toleran.
Pada hari yang sudah ditentukan, dia hadir di istana diikuti keledainya dengan perlengkapannya.
Pada babak pertama diskusi, sarjana Romawi itu dapat membuktikan kecerdasan dan kecerdikan Mulla. Si Sarjana itu akhirnya bangkit berdiri dan, untuk dapat menguji pengetahuan Mulla tentang simbologi dan teori, mengangkat satu jari ke atas.
Mulla menjawabnya dengan mengangkat dua jari ke atas.
Si Romawi menunjukkan tiga jari.
Mulla menunjukkan empat jari.
Si Sarjana menunjukkan lima jari.
Mulla mengacungkan kepalan tangan.
Si Sarjana merogoh tasnya dan mengeluarkan sebutir telur.
Mulla mengeluarkan sebutir bawang dari kantongnya.
Begitu melihat bawang itu si Sarjana Romawi berkata:
"Apa buktimu?"
Mulla menyebutkan Teori Cabang-Cabang Universal, dan lain-lain, dan lain-lain.
"Tapi aku belum pernah mendengar teori-teori seperti itu," kata si sarjana.
"Memang kamu belum pernah mendengarnya," sahut Mulla. "Coba sekarang lemparkan pandanganmu melalui jendela dan lihatlah beratus-ratus buku lain yang serupa yang belum pernah kamu baca."
Si Romawi itu melihat ke halaman. Dia melihat seekor keledai membawa keranjang-keranjang penuh buku. Si sarjana itu amat terkesan sehingga dia mengaku kalah.
Tak seorang pun yang dapat mengerti arti isyarat-isyarat dari dua orang yang sedang berdebat itu. Setelah keadaan tenang, kaisar mendekati sarjana Romawi itu dan berbisik: "Apa makna isyarat dan lambang-lambang yang kamu sampaikan kepada Mulla, dan apa jawabannya?"
"Dia sungguh luar biasa," jawab si Romawi itu.
"Ketika aku mengangkat sebuah jari, yang artinya bahwa ada satu Tuhan saja, sia mengangkat dua jari, yang artinya dia menciptakan dua alam. Aku tunjukkan tiga jari, yang berarti siklus kehamilan-hidup-mati manusia, Mulla menunjukkan empat jari, yang artinya bahwa tubuh manusia terdiri empat unsur: tanah, air, api, udara..."
"Bagaimana dengan telur dan bawang itu?" tanya kaisar.
"Telur itu lambang bumi (kuning telur) yang dikelilingi langit-langit. Tapi Mulla mengeluarkan bawang, yang artinya lapisan-lapisan langit yang mengitari bumi; aku protes supaya dia memperkuat pertanyaanya yang mengatakan bahwa langit dan bawang itu punya lapisan yang sama jumlahnya. Mulla memang sangat pandai." simpul si Romawi dan lalu minta diri.
Setelah si Romawi itu pergi, kaisar melontarkan pertanyaan yang sama kepada Mulla.
Jawab Mulla, "Sangat sederhana, Yang Mulia. Ketika dia mengarahkan satu jarinya ke arahku, aku arahkan dua jari, yang artinya kucongkel nanti kedua matanya. Ketika dia mengangkat tiga jari, itu jelas bahwa dia hendak menendangku tiga kali. Aku balas dengan memberikan empat tendangan. Tapak tangannya tentu saja berarti tamparan di wajah, untuk itu aku acungkan kepalan tinju. Nah, ketika tahu bahwa aku sungguh-sungguh, dia mulai bermanis-manis dan menawariku telur. Lalu aku keluarkan bawang dari kantong bajuku, dan kusodorkan kepadanya."
Subscribe to:
Posts (Atom)